Kondisi ekonomi Sri lanka makin memburuk setelah Inflasi konsumen di sepanjang Agustus mencatatkan peningkatan sebesar 70,2 persen. Angka ini melonjak drastis apabila dibandingkan dengan inflasi di Juli 2022 yang hanya dipatok 66,7 persen. Bank Sentral Sri Lanka (CBSL) menyatakan Indeks Harga Konsumen Kolombo (NCPI) dalam tahun ini telah meningkat sekitar 70 persen, melampaui level tertingginya selama negara kepulauan itu terpuruk di bawah resesi ekonomi.
Ini terjadi lantaran dampak dari adanya krisis valuta asing atau mata uang, yang disebabkan oleh kesalahan pengelolaan ekonomi selama berlangsung pandemi Covid 19. Kondisi tersebut makin diperparah dengan adanya lonjakan harga pangan dan bahan bakar di pasar global. Hal tersebut yang kemudian menyeret naik harga makanan di Kolombo sebanyak 84,6 persen, sementara harga barang non makanan naik 57,1 persen.
Hingga utang Sri Lanka membengkak lebih dari 100 miliar dolar AS dan membuat 22 juta masyarakat Sri Lanka mengalami kekurangan kebutuhan pokok akut termasuk diantaranya adalah makanan, bahan bakar dan obat obatan, dikutip dari Reuters. Khawatir kondisi ini semakin membuat ekonomi negara berkontraksi, mendorong bank moneter internasional IMF untuk memberikan pinjaman senilai 2,9 miliar dolar AS. Pinjaman tersebut akan dibuat di bawah Fasilitas Dana Perpanjangan IMF untuk memulihkan kesinambungan utang di Sri Lanka.
Program pinjaman ini diharapkan dapat membantu Sri Lanka meningkatkan pendapatan fiskal dan menerapkan reformasi pajak besar. IMF juga berharap agar negara Asia Tenggara itu mampu menerapkan perpajakan yang lebih progresif dan pajak perusahaan dan PPN yang lebih luas, mengingat saat ini ekonomi Sri Lanka telah berkontraksi sebesar 8,7 persen. Dengan adanya bantuan ini kepala penelitian perusahaan investasi First Capital yang berbasis di Colombo,Dimantha Mathew memperkirakan inflasi di negaranya dapat turun pada September 2022.
"Inflasi diperkirakan akan menurun mulai September, hingga mencapai satu digit pada paruh kedua tahun 2023," jelas Mathew.