Politik identitas dalam Pemilihan presiden (Pilpres) 2024 mendatang tetap akan ada. Hanya saja eskalasinya tidak akan sebesar Pilpres 2014 dan Pilpres 2019. Hal ini, jelas Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan, karena dalam kontestasi politik mendatang mayoritas pemilihnya didominasi oleh kalangan muda yang mencapai angka hingga 58 persen. Selain itu kata Djayadi, banyaknya pemilih yang sudah terdidik juga jadi peran penting dalam meminimalisir isu politik identitas di pertarungan politik mendatang.
Djayadi menambahkan ada satu faktor lagi yang nantinya bakal lebih mempengaruhi semakin kecilnya politik identitas terjadi dalam Pilpres 2024. Meski saat ini faktor tersebut masih belum muncul ke permukaan. Faktor ini ialah berkaitan dengan jumlah calon presiden yang nantinya maju dalam pemilihan. Jika jumlah calonnya lebih dari dua pasang, kemungkinan isu politik identitas semakin tidak tajam, kata Djayadi. “Penggunaan politik identitas tidak setajam 2014 atau 2019 apalagi kalau calon lebih dari dua, kan tidak bisa head to head,” jelasnya.
“Tidak bisa memotret salah satu mewakili kelompok Islam atau yang lain mewakili kelompok non islam. Akan sulit kalau calonnya lebih dari dua,” Djayadi menambahkan. Lebih lanjut, tingginya jumlah pemilih muda ini punya imbas tersendiri ke partai untuk lebih memusatkan kampanye dengan menyasar anak muda serta memajukan lebih banyak lagi calon legislatif muda. “Karena pemilih di 2024 banyak generasi milenial dan post milenial, jadi partai manapun pasti akan menggunakan anak muda. Dua cara minimal, melakukan pendekatan yang cocok dengan anak muda. Kedua, memunculkan calon calon legislatif itu yang berasal dari kalangan muda,” tegas Djayadi.